Gak ada kerjaan lain selain membaca Gak ada kerjaan lain selain membaca Gak ada kerjaan lain selain membaca Gak ada kerjaan lain selain membaca

Rabu, 23 November 2011

Bakti Informatika ITB: IT untuk Si Miskin

Anak-anak, yang paling penting dalam programming adalah jam terbang.”
Dr. Ir. Inggriani Liem, MM., Dosen senior IF ITB
“Aku tuh mulai programming dari kelas 3 SMP.”
Ali Akbar, mahasiswa IF ITB 2003 termuda dan lulus tercepat predikat cum laude
Bayangkan ada seorang anak kelas 3 SMP mengenal bahasa Basic. Setahun kemudian ia menyentuh C dan C++. Kelas 2 SMA ia mulai belajar ilmu software engineering. Terakhir, pada kelas 3 SMA setelah lumayan makan asam garam programming, ia memfokuskan skillnya pada image processing. Menurut anda apakah anak itu bisa mandiri selepas SMA? Apakah anda ingin memiliki anak seperti itu? Dan…
Apakah itu mungkin?
Mungkin saja apabila anak itu adalah seorang anak superjenius, berasal dari strata menengah ke atas, dan salah satu keluarganya adalah IT expert. Kira-kira itu yang terbayang dalam pikiran anda. Lalu bagaimana dengan anak-anak biasa, ekonominya biasa, dan tidak punya akses IT? Rasanya mustahil. Apalagi anak-anak putus sekolah seperti pengamen jalanan cilik.
Memang benar, anak-anak golongan terakhir mustahil melakukan itu. Namun pernahkah anda berpikir, mengapa mereka mustahil melakukan hal itu? Apa karena mereka tidak cerdas? Rasanya tidak. Contohnya, IF telah menunjukkan bahwa mereka mampu menempa anak SMA yang awalnya buta IT, sehingga 4 tahun kemudian memiliki skill yang mampu membuat mereka mampu mencari nafkah. Pernyataan Ali Akbar dan Bu Inge pun diamini oleh sebagian besar kalangan IF sendiri.
Apa yang menyebabkan orang miskin tetap miskin, orang bodoh tetap bodoh, dan negara kita yang tertinggal tetap tertinggal, adalah karena tidak memiliki kesempatan. Seandainya mereka memiliki kesempatan yang sama seperti Ali Akbar, beberapa di antara mereka mungkin bisa melewati anda di umur yang sama. Seandainya mereka memiliki kesempatan, mereka mungkin dapat meninggalkan kemiskinan mereka. India mampu bangkit dari negeri kumuh dan miskin menjadi pengekspor ekspatriat terbesar di dunia karena IT.
Lalu siapa yang akan memberi kesempatan pada orang miskin untuk belajar IT?
Keterlaluan rasanya jika civitas Informatika ITB masih melirik ke kanan-kiri mencari siapa yang melakukannya. IF ITB-lah yang memiliki tanggung jawab terbesar! Mereka dibimbing dosen-dosen terbaik. Akses informasi tanpa batas. Fasilitas berlimpah. Dan itu ditanggung uang negara. Maka dari itu, tanggung jawab untuk memberikan IT kepada si miskin tidak terletak pada bahu jurusan Teknik Informatika universitas XX yang bisa lulus tanpa kuliah…!
Dedikasi IF-ITB pada pendidikan IT massal untuk rakyat miskin dapat mengubah wajah kota Bandung. Dan dedikasi universitas lain pada hal ini akan mencerahkan masa depan anak-anak Indonesia.
Manfaat Mendidik IT Massal
Manfaat dari mendidik IT secara massal adalah:
  1. Membantu mahasiswa IF ITB mencapai kebahagiaan hidup. Telah banyak tokoh sukses terkenal yang mewasiatkan bahwa kebahagiaan hidup tidak terletak pada keberlimpahan harta, jabatan yang tinggi, namun sederhana: Dicintai sesama, didoakan sesama, karena bermanfaat bagi sesama.
  2. Mencetak tunas-tunas IT expert yang siap diakselerasi di jenjang yang lebih tinggi. Bahkan, akselerasi tunas-tunas ini sangat mungkin meninggalkan lulusan SPMB ketika bersama memasuki IF!
  3. Langkah strategis mengurangi kemiskinan dan pengangguran di kota Bandung.
  4. Sarana melatih kemampuan presentasi bagi mahasiswa IF ITB. Karena motivasi belajar anak-anak tersebut akan berbanding lurus dengan kesungguhan mahasiswa untuk mengajar mereka.
Tentu saja masih ada keuntungan lain seperti aspek ekonomis. Namun tidak perlu saya bahas agar mahasiswa IF ITB tidak mengotori kemurnian niat untuk berkontribusi bagi masyarakat ini.
Rancangan Implementasi
Orang-orang yang bernuansa negatif akan berkata, “Ini mungkin, tapi sulit”. Sementara orang bernuansa positif akan berkata, “Ini sulit, tapi mungkin”. Usul ini mungkin direalisasikan. Ada berbagai cara agar niat ini dapat diimplementasikan secara efektif. Salah satu usul yang saya usulkan, program ini dimasukkan ke dalam kurikulum 2008 sebagai SKS opsional. Dalam SKS ini, setiap anak IF berkewajiban untuk mengajarkan ilmunya satu kali dalam seminggu. Sementara penilaian SKS ini diukur dari sejauh mana anak yang diajar mampu memecahkan persoalan-persoalan IT. Tentu saja, aspek yang ditonjolkan dari usul di atas bukan SKS-nya, tapi aspek social responsibility-nya. Bahkan kalau perlu SKS ini dijadikan trademark IF ITB, untuk membuktikan bahwa alumninya selain memiliki skill juga memiliki kepekaan hati, kemampuan presentasi yang baik, serta kemauan yang keras.
Tentu saja ada pertanyaan-pertanyaan lain yang harus dijawab ketika program ini didesain, seperti:
  1. Siapa yang akan diajar?
  2. Apa yang akan diajarkan?
  3. Bagaimana agar pendidikannya kontinu?
  4. Bagaimana menilai kinerja pengajar?
  5. Bagaimana menilai kinerja yang diajar?
  6. Bagaimana menjaga motivasi pengajar?
  7. Dimana tempatnya?
  8. Siapa penyedia fasilitasnya?
  9. Dll.
Terakhir, tujuan usul ini bukanlah citra IF sendiri. Biarlah masyarakat sendiri yang menilai sejauh mana keseriusan dan kepedulian IF ITB terhadap masyarakat Bandung. Usul ini berangkat dari kesadaran, bahwa di tangan civitas IF-ITB-lah nasib bangsa ini berada. Kita lah yang memiliki kekuatan untuk mencetak Ali Akbar-Ali Akbar baru. Dan yang pasti, ketika seluruh civitas dan alumni IF ITB memiliki ketulusan dan ketahanan berjuang untuk melakukan hal ini, Tuhan akan membukakan jalan seluas-luasnya.
Ditunggu masukannya, sahabat dan rekan IF semua…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar